Pertama : Kaum salafy memandang bahwa takfir (pengkafiran) adalah hak Allah, karenanya tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan RasulNya. Yaitu pengkafiran harus dibangun di atas dalil syar'i.
Kedua : Ka um Salafy hanya mengkafirkan dengan perkara-perkara yang merupakan ijmak ulama.
As-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berkata :
Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah ditanya, "Atas apa ia
berperang?, apa yang menyebabkan seseorang dikafirkan?", maka beliau
menjawab:
"Rukun-rukun Islam yang lima, yang pertama adalah dua syahadat, kemudian empat rukun. Adapun keempat rukun jika dia mengakuinya namun meninggalkan melaksanakannya karena lalai maka kami –meskipun kami memeranginya agar ia mengerjakan keempat rukun- akan tetapi kami tidak mengkafirkannya karena ia meninggalkannya, sementara para ulama berselisih tentang kafirnya orang yang meninggalkan keempat rukun karena malas tanpa menentang wajibnya empat rukun tersebut. Dan kami tidak mengkafirkan kecuali perkara yang disepakati oleh seluruh ulama, yaitu dua syahadat. Selain itu kami juga mengkafirkannya setelah memberi penjelasannya kepadanya, jika ia telah tahu dan tetap mengingkari" (Ad-Duror As-Saniyyah 1/102, lihat juga 11/317)
Ketiga : Kaum salafy memandang perbedaan antara takfir mutlaq dan takfir
mu'ayyan. Takfir mutlaq seperti perkataan para ulama "Barang siapa yang
mengatakan al-Qur'an makhluk maka dia kafir", akan tetapi tidak serta
merta setiap orang yang mengatakan al-Quran makhluq lantas kita
kafirkan.
Tidak diragukan bahwa perkataan al-Qur'an makhluq merupakan kekufuran.
Imam Malik bin Anas ketika ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa
Al-Qur’an adalah mahluk, beliau menjawab: “Orang itu adalah zindiq(*),
maka bunuhlah dia”. (Dinukil dari Siyar A’alam An Nubala’ 8/99). Imam As
Syafi’i ketika mendengar Hafes Al Fared berkata: “Al-Qur’an adalah
mahluk” beliau langsung berkata kepadanya: “Engkau telah kufur kepada
Allah”. (Dinukil Dari Siyar A’alam An Nubala’ 10/30, & Mujmu’ Fatawa
Ibnu Taimiyyah 23/349)
Abu Bakr bin ‘Ayyasy berkata: “Barang siapa yang beranggapan bahwa
Al-Qur’an adalah mahluk, maka menurut kami, dia itu adalah kafir dan
zindiq.” Abu Nu’aim berkata: Aku pernah berjumpa dengan delapan ratus
tujuh puluh sekian orang syeikh, diantaranya Al A’amasy dan orang yang
setelahnya. Dan aku tidaklah menjumpai orang yang berkeyakinan dengan
ucapan ini yaitu “Al-Qur’an adalah Mahluk” atau berbicara dengannya,
melainkan ia dituduh sebagai orang zindiq“.
Kemudian Imam Hibatullah Al lalaka’i menyebutkan lebih dari seratus nama
ulama’ dan kemudian beliau berkata: “Mereka semua berpendapat bahwa
Al-Qur’an adalah kalamullah, maka barang siapa yang berpendapat bahwa
Al-Qur’an adalah mahluk, maka ia telah kafir”. (Syarah Ushul I’tiqad
Ahlis Sunnah 2/277 dst)
Al Imam Abul Hasan Al ‘Asy’ari berkata: “Dan saya berpendapat:
sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah dan bukan mahluk, dan barang
siapa yang mengatakan “Al-Qur’an adalah mahluk” maka ia adalah orang
kafir”. (Al Ibanah oleh Abul Hasan Al ‘Asy’ary hal 20 & Tabyiin
Kazibul Muftary oleh Ibnu ‘Asakir hal 159). Dan masih banyak lagi
deretan ulama’ yang menyatakan dengan tegas bahwa perkataan “Al-Qur’an
adalah mahluk” sebagai kekufuran.
Akan tetapi pada kenyataannya Imam Ahmad tidak mengkafirkan setiap orang
yang menyatakan bahwa al-Qur'an makhluq. Oleh karena itu Imam Ahmad
tidak mengkafirkan para khalifah (Al-Makmun, Al-Mu’tasihm, dan
Al-Waatsiq) yang telah beraqidah bahwasanya Al-Qur’an adalah mahluk
serta telah menyiksa beliau dan juga para ulama yang lain semasa beliau
karena para khalifah tersebut masih terbelenggu oleh syubhat atau
takwil.
Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya orang yang menyeru kepada perkataan
(Al-Qur’an adalah mahluk -pen) lebih parah dibandingkan dengan orang
yang (hanya sekedar) berpendapat demikian. Dan orang yang menghukumi
orang yang menyelisihinya lebih parah lagi dibandingkan orang yang hanya
sekedar menyeru kepada pendapatnya. Dan yang mengkafirkan orang yang
menyelisihinya lebih parah lagi dari yang (hanya sekedar) menghukumi
(orang yang menyelisihinya yang tidak mengatakan Al-Qur’an mahluk-pen).
Meskipun demikian mereka yang merupakan para penguasa berpendapat dengan
perkataan Jahmiyah bahwasanya Al-Qur’an adalah mahluk dan bahwasanya
Allah tidak dapat dilihat di akhirat serta yang lainnya, mereka menyeru
rakyat untuk berpendapat demikian. Mereka menguji rakyat dan menghukum
mereka jika mereka tidak setuju dengannya.
Mereka mengkafirkan orang yang tidak memenuhi (seruan
mereka/mengkafirkan orang yang tidak mengatakan Al-Qur’an adalah mahluk
-pen). Sampai-sampai jika mereka menangkap seseorang tawanan, maka tidak
akan mereka lepaskan hingga ia mengakui pendapat Jahmiyah bahwa
Al-Qur’an adalah mahluk dan yang lainnya.
Mereka tidak akan mengangkat seorang pejabat, serta tidak akan memberi
pembagian dari baitul mal kecuali kepada orang yang berpendapat
demikian.
Meskipun demikian Imam Ahmad –rahimahullah- tetap mendoakan kerahmatan
bagi mereka dan memohon ampun bagi mereka, karena beliau beranggapan
bahwa mereka belum sampai pada tingkatan mendustakan Rasulullah dan
menentang syari’at yang beliau emban. Akan tetapi mereka bertakwil dan
mereka keliru, serta mereka hanya sekedar taqlid/ikut-ikutan dengan
orang lain yang mengajarkan hal itu (aqidah Jahmiyah) kepada mereka”.
(Majmuu’ al-Fataawaa 23/348-349)
Ibnu Taimiyyah juga berkata, “Padahal Imam Ahmad tidaklah mengkafirkan
setiap orang Jahmiyah, tidak juga mengkafirkan setiap orang yang beliau
vonis sebagai anggota sekte Jahmiyah, tidak juga setiap orang yang
setuju dengan sebagian bid’ah-bid’ah Jahmiyah.
Bahkan beliau tetap menjalankan shalat di belakang orang-orang Jahmiyah
yang menyeru kepada perkataan mereka dan menguji masyarakat dan
menghukum orang yang tidak setuju dengan mereka dengan hukuman yang
berat, akan tetapi Imam Ahmad dan yang lainnya belum mengkafirkan
mereka. Bahkan Imam Ahmad meyakini bahwa mereka masih sebagai
orang-orang yang beriman dan beliau tetap meyakini kepemimpinan mereka.
Beliau mendoakan kebaikan bagi mereka, dan memandang (bolehnya)
bermakmum di belakang mereka ketika sholat, berhaji dan berperang
bersama mereka. Beliau melarang pemberontakan terhadap mereka
sebagaimana inilah pandangan orang-orang yang semisal beliau (para imam
salaf yang lain). Beliau mengingkari bid’ah yang mereka munculkan yaitu
perkataan batil yang merupakan kekafiran yang besar meskipun para
pelakunya tidak menyadari bahwa perbuatannya itu (perkataan Al-Qur’an
adalah mahluk) merupakan kekafiran.
Beliau mengingkari hal ini dan bersungguh-sungguh dalam membantah mereka
semampu beliau. Dengan demikian beliau telah menyatukan antara ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya yaitu dengan menampakkan sunnah dan agama
serta mengingkari bid’ah Jahmiyah Mulhidin dengan sikap memperhatikan
hak-hak orang-orang beriman dari kalangan para penguasa dan umat
meskipun mereka adalah orang-orang jahil, para mubtadi’, dzolim dan
fasik”. (Majmuu’ al-Fataawaa 7/507-508)
Keempat : Kaum Salafy meyakini bahwa seseorang yang melakukan kekafiran atau mengucapkan kekafiran tidaklah langsung divonis kafir
kecuali setelah memenuhi persyaratan (seperti ditegakkannya hujjah dan
berusaha menghilangkan syubhat yang bercokol di kepalanya) serta tidak
adanya perkara-perkara yang menghalangi pengkafiran (seperti kebodohan,
baru masuk islam, tinggal di daerah pedalaman sehingga tidak mengerti,
atau karena dipaksa mengucapkan/melakukan kekafiran, dll).
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وليس لأحد أن يكفر أحدا من المسلمين وإن
أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين له المحجة ومن ثبت إسلامه بيقين لم
يَزُلْ ذلك عنه بالشك ؛ بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة وإزالة الشبهة
"Dan tidak seorangpun boleh mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin
meskipun ia keliru atau bersalah hingga ditegakkah hujjah kepadanya dan
jelas baginya hujjah. Barang siapa yang secara yakin islamnya tegak maka
tidaklah islam tersebut hilang darinya hanya dengan keraguan, akan
tetapi bisa hilang jika setelah menegakkan hujjah dan menghilangkan
syubhat' (Majmuu Al-Fataawaa 12/466)
Ibnu Taimiyyah juga berkata :
وأما الحكم على المعين بأنه كافر أو مشهود له بالنار : فهذا يقف على الدليل المعين فإن الحكم يقف على ثبوت شروطه وانتفاء موانعه
"Adapun memvonis orang tertentu dengan hukum kafir atau disaksikan masuk
neraka maka hal ini berhenti/tergantung kepada dalil yang tertentu
(khusus), karena pemvonisan tersebut tergantung pada adanya persyaratan
dan hilangnya halangan-halangan" (Majmuu al-Fataawaa 12/498)
Dengan ini sangatlah jelas bahwa kaum salafy adalah kaum yang sangat berhati-hati dalam mengkafirkan.
(Silahkan para pembaca membaca sebuah desertasi karya Dr. Abdul Majiid
al-Masy'abi yang berjudul Manhaj Ibni Taimiyyah fi mas'alah at-Takfiir
bisa di download di http://www.waqfeya.com/book.php?bid=1492,
dan juga sebuah tesis karya Ahmad bin Jazzaa' Ar-Rudhaimaan yang
berjudul Manhaj Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhab fi mas'alah
at-Takfiir, bisa di download di http://www.alkutob.net/aqeedah/manhag-emam-mohammad/manhag-emam-mohammad.pdf. Serta Fatwa Ulama Seputar Pengkafiran yang diterjemahkan oleh Dr. Muhammad Arifin Badri, MA di http://ge.tt/7LODkeT/v/01)